Rabu, 01 Maret 2017


Harus diakui, persoalan ‘Aksi Bela Islam’ tidaklah sesederhana yang kita duga. Bukan karena sulitnya melihat relasi antara aktor penggerak aksi dengan elit oligarki yang mempunyai kepentingan dibaliknya. Melainkan, karena makin kaburnya peta kelompok-kelompok Islam yang terlibat di dalam kegaduhan ini. Dengan ini tidak bisa kita, misalnya, menganggap para pendukung Aksi massa sebagai ‘Islam Fundamentalis Sunni’ karena dikomando oleh FPI. Karena buktinya, tidak sedikit yang terlibat dalam aksi adalah mereka yang biasa dikelompokkan ke dalam Islam MoDerat seperti NU. Bahkan, banyak kiai dan santri NU yang terlibat di dalamnya. Berada pada posisi ini, misalnya, Kiai Makruf Amin. Selain menjabat sebagai ketua MUI, beliau juga menjabat sebagai Rais Am PBNU yang merupakan pucuk tertinggi dalam struktur PBNU. Atau kiai Salahudin Wahid, pengasuh pesantren Tebuireng.
Bagaimana kita akan mengkategorikan kedua aktor tersebut? Apakah bisa disebut sebagai Islam fundamentalis karena turut menyerukan perjuangan ‘Aksi Bela Islam’ atau sebagai Islam Moderat karena keduanya orang penting di lingkungan NU, yang oleh banyak pengamat Islam Indonesia dianggap sebagai representasi Islam Moderat? Maka, pada kasus ‘Aksi Bela Islam’, kategori-kategori yang sudah mapan seperti fundamentalis, moderat, intoleran, toleran, demokratis dan anti demokrasi menjadi sangat kabur dan tidak lagi terang batasannya.
Meski demikian, untuk memudahkan cara baca, tidak bisa tidak, kita tetap perlu menggunakan kategori-kategori meski dengan pengertian sedikit berbeda, yakni memfungsikan kategori bukan sebagai parameter dalam menilai segala persoalan atau isu yang disikapi oleh seseorang maupun kelompok, melainkan hanya secara spesifik pada isu yang tengah kita bicarakan.
Jadi, kalau kita petakan secara sederhana posisi dominan antar kelompok Islam yang terlibat dalam pro dan kontra ‘Aksi Bela Islam’ setidaknya ada dua: Pertama, Islam Politik sebagai pendukung utama aksi. Mereka menganggap apa yang sedang diperjuangkannya sebagai kewajiban moral (moral obligation) yang harus ditanggung oleh semua kaum muslim. Bahkan, salah satu argumen para kiai dan santri yang berafiliasi pada NU, yang terlibat dalam ‘Aksi Bela Islam’ mendasarkan perjuangannya pada pernyataan pendiri NU, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, yang kurang lebih menganjurkan umat Islam untuk turut membela agama Islam dan sekuat tenaga berusaha menangkis atau menolak orang yang menghina Al-Qur’an dan sifat-sifat Allah.[1]
Pernyataan tersebut akan menjadi sangat problematis jika dipahami secara harfiah. Seandainya dipahami secara substansial, maka ‘Aksi Bela Islam’ sebagaimana yang tengah berlangsung tak akan pernah terjadi. Bukankah kita sendiri, umat Islam, yang justru seringkali menghina Al-Qur’an karena tidak mampu mengamalkannya dalam praktik hidup sehari-hari secara total dan konsekuen?
Mungkin bagi kita, apa yang sedang diperjuangkan dalam ‘Aksi Bela Islam’ tidak lah substansial, bahkan berpotensi besar mereduksi ajaran Islam mengenai kemanusiaan yang bernilai universal. Namun kita juga tidak boleh naif dengan menganggap aksi semacam ini sesuatu yang homogen. Semua pihak yang terlibat di dalamnya membawa kepentingannya masing-masing dengan perekat utamanya adalah dugaan penistaan agama.
Kedua, Islam Moderat, sebagai penolak utama aksi. Penilaian Islam Moderat pada aspek teologis, dalam melihat ‘Aksi Bela Islam’ meskipun tepat, sayangnya masih terjebak pada penilaian esensialis. Melalui cara pandang semacam ini, Islam Moderat tidak bisa melepaskan diri dari prasangka yang dibangunnya sendiri yaitu bahwa setiap aksi massa, apalagi ketika diusung oleh pihak yang terlanjur dilabeli sebagai Islam fundamentalis, otomatis akan terjadi kerusuhan, atau berefek negatif secara sosial dan politik. Maka wajar jika kita dapati tanggapan mereka terhadap aksi massa cenderung alergi dan sinikal.

Donwload full Ebook klik link di bawah ini : 
https://drive.google.com/file/d/0B7LodlTvyosEeXczWlNpbzRFczQ/view


EmoticonEmoticon